By @brookecagle on Unsplash

Anti-kagok Bekerja dengan Orang Baru

Buat kamu yang baru masuk ke kantor baru, ataupun pindah ke tim baru

Jamika Nasaputra
#BelajarDesain
Published in
7 min readJan 16, 2021

--

Dalam bekerja, kolaborasi dan komunikasi yang baik merupakan keterampilan yang wajib dikuasai. Bahkan kedua hal tersebut termasuk kedalam 12 keterampilan yang paling dibutuhkan dari para pelamar kerja. Apalagi jika kita bekerja dalam kultur start-up milenial yang gesit dan dinamis.

Saking dinamisnya, tidak jarang perubahan pun terus terjadi. Pergantian pimpinan, kebijakan, bahkan anggota tim sekaligus. Kita akhirnya dituntut untuk bisa fleksibel dan cepat beradaptasi tidak hanya dengan kultur kerjanya, melainkan juga orang-orang di dalamnya.

Ikuti instagram kami di @belajardesain.io untuk mendapatkan update #BelajarDesain terbaru dan bagaimana agar menjadi lebih baik — bagi diri sendiri, pekerjaan, ataupun orang lain.

When people care about the people they work with, things get done faster, he says. “People will go the extra mile; they will take ownership of a job, a decision or problem and work through it without feeling like they have to go up the chain to get things done.” — Skip Weisman (sumber)

Untuk memberikan performa kerja terbaik, kita tentu membutuhkan kolaborasi yang baik dengan atasan pun sesama rekan kerja. Kolaborasi yang baik tidak bisa terjadi begitu saja. Kita butuh membangun komunikasi dan hubungan yang sehat antar anggota tim.

Berikut ini adalah beberapa tip yang bisa kamu terapkan supaya kamu tidak kagok saat harus bekerja dengan orang baru.

1. Menerima perubahan sebagai hal yang pasti terjadi

Sebagai manusia, sangat wajar jika kita menyukai kepastian dan membenci ketidakpastian. Sementara hanya dua hal dalam hidup ini yang sudah pasti: perubahan dan kematian.

Nyatanya, kitapun tidak menyukai yang namanya perubahan. James Kessick mengatakan bahwa sebagai manusia, kita menyukai hal-hal yang bisa kita kendalikan. Perubahan adalah hal yang terjadi diluar kendali kita dan membuat kita harus mengeluarkan energi lebih untuk beradaptasi. Tak heran bagi sebagian orang, menghadapi perubahan memang cukup melelahkan.

Apa yang bisa kita lakukan? Marah-marah? Bete? Posting di medsos bahwa kita membenci perubahan yang terjadi? Mengeluh memang boleh-boleh saja. Tetapi ia tidak bisa menghentikannya, pun memperbaikinya.

Kebijakan yang selalu berubah, tim yang selalu berganti, bahkan kultur kantor yang dinamis memang tidak bisa kita hindari. Kekhawatiran tentu hal yang wajar dan manusiawi. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah dengan menghadapinya.

Photo by Danielle MacInnes on Unsplash

Tetap tenang dan hadapi, yakinkan diri bahwa kita bisa melaluinya. Menerima perubahan sebagai sesuatu hal yang memberikan kita tantangan untuk menjadi orang yang tangguh dan lebih baik dari sebelumnya.

2. Kenalan tidak cukup sehari

Jangan bosan-bosan dengan pepatah Tak Kenal Maka Tak Sayang. Sebab memang demikian adanya rumus menjalin hubungan antar manusia. Tidak hanya menyoal hubungan “serius” yaa.. Dunia profesional pun membutuhkan perlakuan yang sama.

Supaya kenalan lebih rileks dan cair, satu hal yang harus kita ingat bahwa kenalan tidak cukup sehari. Perlu banyak waktu, interaksi, dan komunikasi untuk mengenal secara utuh.

Kenalan yang “natural” bisa terjadi dari hal-hal sederhana. Menyalakan video saat sedang melakukan pertemuan daring, misalnya. Menanyakan kabar sesaat sebelum rapat dimulai, memberikan komentar positif pada model rambut yang baru, atau sekedar menyapa dan menyebutkan namanya.

Photo by Dylan Ferreira on Unsplash

Kalau kamu adalah orang baru dalam sebuah tim, temukan waktu yang tepat untuk berinisiatif memperkenalkan dirimu kepada rekan yang lain. Manfaatkan grup Slack atau Whatsapp, pasang foto dan pergunakan nama lengkap atau panggilan dengan jenis teks yang mudah dibaca.

Semakin sering berinteraksi, akan semakin cair proses perkenalannya. Jangan segan untuk saling terbuka dan mengkomunikasikan langsung hal-hal yang perlu kita sampaikan. Misalnya ketika meminta bantuan atau memberi masukan secara jujur.

Saling terbuka bukan berarti mengumbar privasi. Tidak harus ngobrol hal-hal pribadi, kok. Membahas topik yang berkaitan dengan pekerjaan saja juga sudah cukup untuk membangun komunikasi. Sebisa mungkin hindarilah bergosip, karena kita juga ingin bekerja di lingkungan dan budaya yang sehat, kan?

3. Jarak dan konflik itu biasa

Baru kenalan sehari tapi sudah ada konflik? Wajar kah? Hmmm.. Dengan pasangan yang sudah bertahun kenalan saja masih sering cek-cok. Jadi ya, wajar saja. Apalagi baru sehari kenalan.

Dalam kehidupan personal, konflik sudah bukan hal yang asing lagi. Sebuah pepatah mengatakan, apalah arti hidup bila tanpa masalah. Katanya, bagai sayur tanpa garam kurang enak kurang sedap.

Begitu pula dalam kehidupan profesional. Setiap orang pasti memiliki cara pandang dan pendapat yang berbeda. Perbedaan tersebutlah yang biasanya memicu konflik.

Bila kita menghadapi konflik di dunia kerja, khususnya dalam menjalin hubungan antar rekan kerja, jangan langsung diambil hati. Apalagi mengingat kondisi pandemi yang sangat membatasi interaksi.

Sebuah artikel yang ditulis oleh Nihar Chhaya, seorang pembina eksekutif untuk para pemimpin senior di perusahaan global mengatakan bahwa jika kita merasa kesulitan berkolaborasi dengan rekan kerja, sangat wajar untuk mengatakan bahwa mereka mungkin tidak punya banyak waktu untuk mengenal kita. Bisa jadi ada faktor lain yang berperan sebelum kedatangan kita.

“Consider that it’s not you they resent, but rather what you represent.” — Nihar Chhaya

Salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah dengan mengambil jarak dan jeda sementara. Tidak apa-apa jika kita atau dia butuh waktu menyendiri. Manfaatkan untuk tetap berpikir positif dan jangan terlalu dibawa perasaan.

Photo by Priscilla Du Preez on Unsplash

Jika dirasa sudah mereda dan siap bicara, maka sampaikan fokus permasalahan dan unek-unek secara privat. Memperbanyak mendengar agar lebih memahami situasi dan penyebab konflik agar mudah mencari solusi dengan hati dan kepala dingin.

Permasalahan, ketidaksetujuan, perbedaan yang menyebabkan jarak dan konflik adalah hal yang biasa. Kita tidak harus sepakat dalam segala hal namun tetap saling menghormati. It’s okay to disagree, but it’s not okay to disrespect.

4. Tidak hanya “aku”

Sebagian orang bisa jadi tidak bermasalah ditempatkan di lingkungan yang sama sekali baru. Tetapi sebagian yang lain mungkin harus berjuang lebih keras untuk bisa mengikuti ritme dan menyesuaikan dirinya. Tidak ada yang salah, sebab setiap orang memiliki kemampuan adaptasi yang berbeda.

Ketika kitalah yang dihadapakan pada situasi, kondisi dan lingkungan baru, ingatlah bahwa tidak hanya kita yang sedang beradaptasi. Rekan-rekan yang bertemu dengan kita pun juga melakukan hal yang sama.

Research shows that when you expect acceptance by someone, you tend to offer warmth to them, leading them to accept you. The opposite is also true: When you expect your colleague to reject you, you will likely approach them with a coldness that leads them to reject you. (Sumber)

Kuncinya adalah mulai dari diri kita sendiri. Jika kita ingin diterima sepenuhnya, maka terimalah rekan kerja kita sepenuhnya. Jika kita merasa berat menerima rekan baru, mungkin begitu pula yang mereka rasakan terhadap kita.

Kita mungkin tidak tahu seberapa mudah atau sulit bagi mereka. Tetapi ketika kita memahami bahwa dalam sebuah kolaborasi tidak hanya ada “aku” atau “kamu” melainkan “kita”, akan lebih mudah untuk saling berempati.

5. Jadi dirimu sendiri

Secara tidak sadar, bertemu dengan orang dan lingkungan baru terkadang membuat kita panik dan gugup. Ketika ada yang bertanya atau meminta masukan, pikiran yang muncul adalah: “Eh eh, gue harus jawab apa ya? Harus kayak gimana nih?”

Takut salah bicara, khawatir menyinggung atau tidak sesuai dengan ekspektasi yang lawan bicara harapkan. Ketidaknyamanan yang muncul karena khawatir menjadi orang yang tidak diterima.

Susan David, pendiri Harvard/McLean Institute of Coaching berkata bahwa “That discomfort is critical to your growth as a person, and don’t try to play the introvert card.” Alih-alih mengelak, terimalah perasaan itu karena hal tersebut manusiawi. Justru perasaan tersebut penting bagi pendewasaan diri.

Setidaknyaman apapun itu, jangan lupa untuk tetap menjadi dirimu sendiri. Akan lebih mudah bagi rekan kerja kita untuk mengenal kita seutuhnya jika kita menjadi apa adanya.

“The minute you start faking it people are going to trust you less, not more, because they can see right through that,” says McKee. “And if you’re going into a relationship just looking out for yourself, people will figure it out.” (Sumber)

Lakukan seperti biasa. Tidak perlu berusaha menjadi menarik agar semua orang menerima kita. Bagaimanapun, kejujuran lebih utama. Jujur pada rekan kerja, dan jujur pada diri sendiri. Jangan segan berkata “tidak” jika memang tidak bisa. Atau meminta maaf ketika salah, dan berterima kasih ketika merasa terbantu.

--

--

Jamika Nasaputra
#BelajarDesain

A Mother and a UI/UX Designer. I wrote things about Productivity, Working-Mom related topics, and of course about UX Design. Enjoy :)